Sore itu, saat David masih bekerja, rumah tempat ia membesarkan harapan dan tawa anak-anaknya hancur rata dengan tanah. Tak ada yang tersisa, selain puing dan lumpur.
“Alhamdulillah keluarga saya selamat,” kata David lirih di pengungsian SDN 05 Kayu Pasak.
Kalimat itu diucapkannya sambil memandang ketiga anaknya yang kini tidur beralaskan tikar tipis. Wajahnya terlihat lelah, matanya sembab. Ia berulang kali mengucap syukur, namun rasa kehilangan tak bisa disembunyikan.
“Kalau bukan karena abang ipar saya, mungkin saya sudah kehilangan semuanya,” ucapnya pelan.
Di pengungsian, David tidak banyak mengeluh. Ia hanya berharap ada cukup air bersih untuk keluarganya. Hingga kini, air minum mulai terbatas. MCK baru dua unit yang berfungsi, memaksa para pengungsi mengantre panjang. Empat MCK tambahan sedang dibangun, namun belum rampung.
David tahu, ia masih lebih beruntung dari banyak orang. Ia masih bisa memeluk anak-anaknya. Masih bisa mendengar tangis bayi bungsunya di malam hari. Masih bisa melihat istrinya tersenyum, meski senyum itu kini dibalut trauma.Namun setiap kali malam tiba, ada satu hal yang tak bisa ia kembalikan adalah rumah yang seharusnya menunggu kepulangannya sore itu.
Kini, di pengungsian, David dan istri beserta tiga anaknya hanya berharap satu hal sederhana, agar keluarganya bisa kembali hidup dengan aman. Tanpa harus kembali berlari dari air yang datang membawa segalanya pergi. (*)
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. T
