Rina (27), pekerja ritel di Bandung, mengaku baru pertama kali merayakan Tahun Baru sendirian. “Biasanya saya pulang ke Garut. Tahun ini tiket bus saja naik hampir dua kali lipat. Saya memilih kirim uang saja ke orang tua,” katanya.
Bagi sebagian orang, keputusan bertahan bukan soal tidak rindu, melainkan soal bertahan hidup setelah libur usai.
Anak-anak dan Rindu yang Tak Tertulis
Dampak paling sunyi dari mahalnya tiket sering kali dirasakan anak-anak. Mereka belajar memahami keadaan sebelum waktunya.
“Papa kerja jauh supaya kita bisa sekolah,” kata Samuel (9), anak Maria, saat ditanya mengapa ayahnya tidak pulang. Kalimat itu terdengar dewasa untuk usia seusianya.
Psikolog keluarga mencatat, momen kebersamaan seperti Natal dan Tahun Baru memiliki makna emosional besar bagi anak. Ketidakhadiran orang tua, meski dipahami secara rasional, tetap menyisakan ruang kosong yang sulit dijelaskan.
Namun keluarga-keluarga ini memilih bertahan, merayakan dengan cara sederhana, dan menyimpan rindu sebagai bagian dari perjuangan.Suara Sunyi yang Jarang Terdengar
Di tengah narasi arus mudik, kemacetan, dan lonjakan wisata, ada suara-suara sunyi yang jarang masuk pemberitaan: mereka yang tidak jadi mudik. Mereka tidak tercatat dalam angka pergerakan penumpang, tetapi keberadaannya nyata.
Bagi publik seperti Maria, kebijakan transportasi saat Nataru bukan sekadar angka statistik. Ia hadir langsung di meja makan, di layar ponsel, dan dalam keputusan-keputusan kecil yang berdampak besar bagi keutuhan keluarga.
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. TSumber : dpr