Malam Natal tahun ini terasa lebih hening di rumah kontrakan sempit di pinggiran Kalimalang, Cipinang, Jakarta Timur. Di atas meja makan, lilin kecil menyala menggantikan pohon Natal yang tak sempat dibeli.
Maria (38) menata piring dengan rapi, sementara dua anaknya duduk berhadapan, menunggu ayah mereka yang hanya bisa hadir lewat layar ponsel.
Suaminya, Anton, bekerja sebagai buruh bangunan di Surabaya. Biasanya, Natal dan Tahun Baru menjadi satu-satunya momen pulang kampung.
Namun Nataru 2025 berbeda. Harga tiket pesawat melonjak bekali lipat, tiket kereta penuh sejak jauh hari, sementara cuti kerja Anton tak bisa diperpanjang.
“Kami sempat hitung-hitungan,” ujar Maria pelan. “Kalau pulang, gaji bulan depan habis hanya untuk ongkos.”
Pilihan itu terasa kejam, tapi terpaksa diambil.Lonjakan Harga, Pilihan yang Menyempit
Cerita keluarga Maria bukan satu-satunya. Di berbagai kota, banyak keluarga kelas menengah ke bawah menghadapi dilema serupa: pulang kampung atau bertahan di perantauan.
Bagi mereka, Natal dan Tahun Baru bukan sekadar libur panjang, melainkan momen pulang—mengikat kembali rasa keluarga yang terpisah jarak dan waktu.
Namun, lonjakan harga tiket transportasi selama Nataru 2025 membuat ruang pilihan semakin sempit. Di terminal, bandara, hingga pelabuhan, wajah-wajah lelah menyimpan cerita yang sama: keinginan pulang yang tertahan oleh angka di layar pemesanan.
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. TSumber : dpr