Akhirnya mereka memutuskan meminjam padi dari sepupu, kira-kira sepertiga karung. Padi itu dibawa ke rumah etek untuk ditumbuk, karena tidak ada lesung di rumah. Lalu lesung dipinjam dari rumah keluarga lain, tapi penumbuknya tidak ada. Mariana pun diminta menjemput penumbuk itu ke rumah orang tua mereka.
Mereka menumbuk padi bersama, diam-diam merancang makan mereka hari itu tanpa pernah tahu bahwa itu rencana terakhir mereka sebagai keluarga lengkap.
Setelah selesai, hujan mulai reda. Afrizal berpamitan pulang. Dan Fikri seperti biasa, mengikuti pamannya.
Tak ada yang curiga. Tak ada yang tahu bahwa langkah kecil Fikri ke rumah pamannya itu adalah langkah yang menjauhkannya dari maut.
Sesampai di rumah, Afrizal melihat kolam di samping rumahnya meluap. Ia menjuluk saluran air agar kembali mengalir. Setelah itu ia masuk ke rumah. Fikri sedang bermain handphone di dekatnya.
Hujan makin pelan. Udara seperti menahan sesuatu.
Afrizal keluar ke teras, melihat-lihat longsoran lama di bukit sekitar. Dan saat itu juga alam membuka amukannya.Longsoran baru datang mendadak. Air bercampur batu dan kayu jatuh dengan suara mengerikan. Afrizal berlari masuk. Pintu rumah sudah terjepit longsoran. Fikri terkurung di dalam, menangis tanpa kata, karena ia memang belum bisa bicara.
Dengan sekuat tenaga ia mendobrak pintu itu. Longsor kedua mengancam turun. Dalam panik dan ketakutan, ia meraih tubuh mungil Fikri dan memeluknya erat.
Dengan nafas terputus-putus, ia menembus hujan, lumpur, dan reruntuhan, menjauh dari rumah yang hampir roboh.
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. T

