“Rasanya lutut saya hilang. Napas saya terhenti. Saya ingin berlari ke rumah, tapi itu arah bencana,” ucapnya.
Dalam hujan deras, longsor susulan, dan teriakan warga yang saling bertumpukan, ia harus memilih antara nalurinya sebagai seorang ibu dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin.
Dengan suara yang dipaksakan tetap stabil, ia mengarahkan warga ke Pasar Malalak di Campago, satu-satunya lokasi luas dan terlindung dari hujan. Ia menenangkan mereka, memeluk ibu-ibu yang menangis, dan membantu warga lansia yang tak lagi kuat melangkah.
“Dalam bencana, adabnya satu yakni angan egois. Siapa pun yang bisa kita selamatkan, selamatkan.” ucapnya.
Setelah memastikan warga aman, barulah ia naik ke tempat tinggi untuk mencoba menghubungi suami. Namun tak satu pun telepon tersambung. Listrik padam sejak beberapa hari sebelumnya, mematikan satu-satunya tower telekomunikasi di Malalak.
Di tengah gelap, dingin, dan suara gemuruh gunung yang tidak henti-henti, Ulya berdiri memeluk dirinya sendiri.
“Saya hanya bisa menangis dalam hati. Ya Allah, lindungi keluarga hamba. Lindungi orang-orang yang tidak tahu kami terjebak,” harapnya.Malam itu, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dalam pasrah.
Kamis (27/11/2025) pagi, bersama dua staf dan seorang bidan desa, Ulya mengambil keputusan yang tidak semua orang sanggup jalani yakni menembus jalur longsor dengan berjalan kaki menuju Hulu Banda, satu-satunya akses yang mungkin terbuka.
Jalan yang sehari sebelumnya masih bisa dilalui motor kini berubah menjadi medan ganas: batu-batu besar, pohon tumbang, lumpur setinggi mata kaki, dan tebing rapuh yang sewaktu-waktu bisa runtuh.
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. T

