Di sisi lain, dua adiknya, Zeo (11) dan Sakura (8) berlari ke arah perbukitan. Warga yang mengenali mereka segera menolong dan membawa keduanya ke Maur Hilir, Jorong Kayu Pasak Timur.
Menjelang magrib, Adelin yang sangat lemah merangkak keluar dari tumpukan kayu dan lumpur. Dengan sisa tenaga, ia mengikuti samar suara manusia dari kejauhan, suara yang menuntunnya menuju keselamatan.
Ketika arus mereda, Ef justru menemukan kenyataan yang lebih menyayat. Ia melihat sebuah kaki kecil terjepit di bawah puing-puing atap. Dengan naluri seorang ibu, ia membongkar lumpur dan kayu itu dengan tangan gemetar. Perlahan tubuh mungil itu terlihat seorang balita.
Ia membersihkan wajah anak itu dengan jilbab milik tetangga yang selamat. Ketika lumpurnya tersingkir, Ef terpaku. Balita itu adalah keponakannya sendiri. Tanpa memikirkan luka di tubuhnya, ia mencoba memberi napas buatan. Namun beberapa menit kemudian, napas kecil itu benar-benar pergi. Ef memeluk tubuh mungil itu dalam diam yang hanya dipenuhi suara puing bergeser.
Belum sempat menenangkan diri, jeritan lain terdengar. Seorang bocah perempuan, Muti, terjebak lumpur hingga pinggang. Ef kembali berusaha menolong, membersihkan wajah anak itu, menenangkannya, lalu berlari mencari bantuan karena tubuh kecil itu tak mungkin ia tarik sendirian.
Meski tubuhnya sendiri penuh luka, Ef terus bergerak dari satu titik tragedi ke titik lainnya, seolah sisa tenaga yang dimilikinya bukan untuk menyelamatkan diri, tetapi menyelamatkan siapa pun yang masih bernapas.
Di tengah kelelahan itu, Ef akhirnya bertemu suaminya, Thomas (44), yang selamat setelah memanjat batang pinang. Keduanya berpelukan singkat, pelukan yang menjadi jeda kecil di tengah kekacauan. Namun pencarian belum selesai.Pukul 19.00, mereka menemukan Adelin. Tubuhnya berlumur lumpur, namun ia hidup.
Pukul 21.00, kabar tentang Zeo dan Sakura muncul. Mereka berada di Maur, selamat.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah berjam-jam dilanda ketakutan, keluarga itu kembali lengkap.
Editor : Hamriadi, S. Sos., S. T

